Malam itu, hujan turun dengan lembut, menciptakan irama ritmis saat tetesannya membasahi jalanan yang lengang. Di kejauhan, suara gemuruh halus terdengar, seakan langit tengah berbisik dalam kegelapan. Namun, di antara suara hujan yang menenangkan, ada satu hal yang mengganggu ketenangan malam—gonggongan anjing yang terus-menerus menggema di tengah jalan.

Aku mempercepat langkah, merapatkan jaket agar dingin tak menusuk tubuh. Anjing hitam besar berdiri di persimpangan, matanya menatap tajam ke arah yang tak terlihat olehku. Bulu kudukku berdiri. Ada sesuatu yang tidak beres.

Langkahku terhenti beberapa meter darinya. Anjing itu terus menggonggong, suaranya terdengar semakin keras, seolah memperingatkan sesuatu. Aku menoleh ke sekeliling, hanya ada bayangan pohon yang bergoyang diterpa angin, lampu jalan yang meredup, dan jalanan basah yang berkilauan oleh pantulan cahaya.

Lalu, aku melihatnya.

Sosok samar berdiri di ujung jalan, di bawah pohon besar yang menggugurkan daun-daunnya yang basah. Dia tidak bergerak, hanya berdiri di sana, seperti menungguku. Napasku tercekat. Aku mencoba meyakinkan diri bahwa itu hanya bayangan, tetapi tubuhku membeku.

Anjing itu tiba-tiba berhenti menggonggong. Hening. Udara terasa lebih berat.

Aku melangkah mundur. Tapi sebelum aku bisa berlari, sosok itu bergerak.

Langkahnya pelan, menyeret sesuatu di tanah yang basah. Aku ingin berteriak, tetapi suaraku tercekat di tenggorokan. Anjing itu menyalak sekali lagi sebelum berlari pergi, meninggalkanku dalam ketakutan.

Malam yang dingin kini terasa semakin mencekam.

Dan sosok itu terus mendekat.